
Fidila Vania Aziz, S.Kom.
Pengadilan Agama Banyuwangi Ikuti Sosialiasi Penilaian IKPA 2023
Banyuwangi | PA-Bwi News 18/03/2013
IKPA, Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran, adalah indikator yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan untuk mengukur kualitas kinerja pelaksanaan anggaran belanja kementerian/lembaga. Inilah yang dibahas dalam Acara Sosialiasi Penilaian IKPA Tahun 2023 di Aula KPPN Banyuwangi, Jl. A Yani No. 120 Banyuwangi, Selasa (16/3/2023).
Acara yang berlangsung mulai pukul 8.30 WIB ini diikuti oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Bendahara Pengeluaran seluruh mitra kerja KPPN Banyuwangi. Kepala KPPN Banyuwangi Birowo Hariwidjaya, S.E. yang membuka acara ini, menekankan pentingnya IKPA dalam pelaksanaan anggaran. IKPA merupakan tolak ukur kinerja suatu instansi/lembaga pemerintah/negara dalam melaksanakan anggaran.
“Jika nilai IKPAnya tinggi maka baik pula penilaian kinerja instansi kita akan pelaksanaan anggaran, tetapi jika nilai IKPAnya rendah, maka buruklah penilaian kinerja instansi kita dalam melaksanakan anggaran, meskipun angka realisasi atau penyerapan anggaran itu tinggi,” tuturnya.
Pengadilan Agama Banyuwangi diantara satker yang diundang pada acara sosialisasi ini menugaskan Tatang Winarto, S.Kom. selaku PPK dan Mamik Sulastri, S.H. selaku Bendahara Pengeluaran Pengadilan Agama Banyuwangi.
Lukas Desie Palintong, narasumber acara ini, membahas secara singkat aspek-aspek penilaian IKPA Tahun 2023. Langkah-langkah strategis pelaksanaan Anggaran, Konsep Keibjakan IKPA hingga 8 indikator dalam penilaian IKPA diantaranya, revisi DIPA, deviasi halaman III DIPA, penyerapan anggaran, belanja kontraktual, penyelesaian tagihan, pengelolaan UP dan TUP, dispensasi SPM, dan capaian output.
IKPA merupakan alat penilaian kinerja pelaksanaan anggaran belanja Kementerian / Lembaga atas pelaksanaan DIPA. Penilaian kinerja pelaksanaan anggaran dilaksanakan secara periodik dengan memperhatikan aspek evaluasi dan perbaikan kinerja pelaksanaan anggaran yang transparan dan akuntabel sesuai dengan ketentuan di bidang pelaksanaan anggaran. Lebih lanjut narasumber menyoroti penilaian IKPA Tahun 2022 sebagai evaluasi bersama. Satker yang nilai IKPAnya rendah, karena banyaknya revisi DIPA dan tingginya nilai deviasi halaman III DIPA.
Di akhir acara Kepala KPPN Banyuwangi mengajak seluruh peserta Acara Sosialisasi untuk mengunjungi dan belanja pada Bazar produk-produk pelaku UMKN Kota Banyuwangi di stand-stand yang telah disediakan di belakang Aula KPPN Banyuwangi. (Tim Redaksi)
#PABanyuwangi
#PABanyuwangiWBK
#PABanyuwangiMenujuWBBM
#ZonaIntegritas
#ASNBerAKHLAK
#banggamelayanibangsa
HALAL - HARAM POLITIK UANG Oleh: H. A. Zahri, S.H, M.HI (Wakil Ketua PA. Banyuwangi)
HALAL - HARAM POLITIK UANG
Oleh: H. A. Zahri, S.H, M.HI
(Wakil Ketua PA. Banyuwangi)
Bicara halal dan haram terkait dengan masalah fikih. Dalam kajian fikih ada ungkapan yang terkenal dengan ahkamul khomsah (hukum lima), yakni: wajib, haram, sunah, makruh dan mubah. Halal masuk katagori mubah, yaitu sesuatu yang boleh dilakukan dan dilawankan dengan haram, yaitu sesuatu yang tidak boleh dilakukan.
Dalam melihat sesuatu yang terkait dengan tingkah laku manusia atau perbuatan mukalaf selalu menggunakan pendekatan hukum (fikih), bukan pendekatan moral, kemanusian dll. Hal demikian terjadi karena yang awal kita pelajari di sekolah adalah masalah hukumnya.
Tulisan ini menyajikan dengan singkat perihal politik uang dilihat dari aspek hukum (fikih) dan hukum positif, khususnya dalam sebuah kontestasi yang memang telah diketahui lazim bermain politik uang.
Putusan organisasi besar, NU melalui bahtsul masail dan Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, demikian pula para kiai dan ustaz secara pribadi, menyamakan politik uang dengan risywah. Karena politik uang dikiaskan dengan risywah sehingga hukumnya menjadi haram. Larangan risywah disebutkan dengan jelas dalam sebuah hadist yaitu,
عن ابْن أَبِي ذِئْبٍ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو،قَالَ :لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Dari Ibni Abi Dzi’b, dari Al-Harits bin Abdirrahman, dari Abi Salamah, dari Abdillah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah Saw. melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap”.
Suap/sogok atau risywah yaitu suatu pemberian dalam bentuk hadiah yang diberikan kepada orang lain dengan mengharapkan imbalan tertentu yang bernilai lebih besar. Melaknat maksudnya dari sisi hukum adalah haram. Sementara istilah politik uang ialah menggunakan uang untuk memengaruhi keputusan tertentu, dalam hal ini uang dijadikan alat untuk mempengaruhi seseorang dalam menentukan keputusan.
Dengan adanya politik uang ini, maka putusan yang dihasilkan tidak lagi
berdasarkan idealita mengenai baik tidaknya keputusan tersebut, melainkan semata-mata didasarkan oleh kehendak si pemberi uang, karena yang bersangkutan sudah merasa diuntungkan.
Dalam hukum positif Indonesia, politik uang sangat jelas dilarang, bahkan pelakunya dapat dibatalkan pencalonannya dan berujung kepada tindak pidana. UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, mengenai politik uang ini diatur dalam beberapa pasal antara lain: Pasal 84 dikatakan bahwa: “Selama masa tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3), pelaksana, peserta, dan/atau petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk: a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah; c. memilih parpol peserta pemilu tertentu; dan/atau d. memilih calon anggota DPD tertentu”.
UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden:
- Pasal 41 ayat (1) poin h dan j: “Pelaksana, peserta, dan petugas Kampanye dilarang: menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dan menjanji kan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.
- Pasal 215: “Setiap pelaksana Kampanye yang dengan sengaja menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih Pasangan Calon tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan denda paling sedikit Rp.6.000.000,00 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp.24.000.000,00(dua puluh empat juta rupiah).
Jadi telah jelas, politik uang dari sisi fikih masuk perbuatan haram dan dari aspek hukum positif dilarang dan masuk tindak pidana, namun persoalannya politik uang itu disukai dan dianggap hal yang lumrah oleh masyarakat/kontituen dan calon dalam praktek pelaksanaan pemilu.
Pendapat berbeda dilontarkan oleh kiai kondang, yang akrab dipanggil Gus Baha (Ahmad Bahauddin Nursalim), dalam salah satu ceramahnya di youtube, beliau mengemukakan bahwa tidak serta-merta politik uang itu sama dengan risywah, tergantung konteknya.
Beliau mengutip kitab Fathul Muin bahwa yang dimaksud suap atau risywah itu mengubah yang batil menjadi hak dengan cara menyogok pihak yang punya otoritas. Namun untuk mempertahankan haknya dengan menyogok hakim dalam suatu perkara karena pihak lawan yang tidak punya hak menyogok, sementara hakimnya dlolim, maka perbuatan demikian itu bukan suap.
Secara lebih spesifik beliau mencontohkan bahwa jika ada dua kandindat bupati, yang satu orang dholim dan yang satu orang sholeh. Orang dholim membeli suara dan jika membeli suara pasti jadi, maka orang shaleh wajib membeli suara di atas orang dholim tersebut agar bisa sukses.
Sogokan orang shaleh ini disebut membeli kebenaran, bukan suap karena orang sholeh lebih berhak jadi bupati daripada orang dholim. Alasan lebih lanjut bilamana orang shaleh tidak membeli kebenaran, maka yang jadi bupati adalah orang dholim yang akan membawa kerusakan.
Pada tataran implementasi yang berpendapat bahwa politik uang itu bukan suap/risywah harus hati-hati. Karena hukum asal politik uang itu disamakan dengan risywah dan hukumnya haram. Dalam kaidah ushul fikih hukum haram menjadi halal apabila dalam keadaan dhorurat dan hukum makruh jadi boleh jika ada hajat.
Ulama ushul merumuskan kaedah الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ المحْظُوْرَات, artinya “Keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang.” . Berdasarkan firman Allah Swt:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).
Ulama ushul telah membuat rumusan keadaan dhorurat antara lain:
- Dipastikan bahwa dengan melakukan yang haram dapat menghilangkan dhoror (bahaya). Jika tidak bisa dipastikan, maka tidak boleh melakukan yang haram.
- Tidak ada jalan lain kecuali dengan melakukan larangan demi hilangnya dhoror.
- Haram yang dilakukan lebih ringan dari bahaya yang akan menimpa.
- Fakta empiris akan memperoleh dhoror (bahaya), bukan hanya sekedar sangkaan atau asumsi.
Politik uang yang berubah menjadi nomenklatur membeli kebenaran, apakah sudah memenuhi empat syarat yang digariskan ulama ushul tersebut.
- Apakah yang mengkalim sebagai orang sholeh itu benar-benar sholeh atau hanya pencitraan. Mengklaim dirinya orang shaleh dan lainnya tidak shaleh, tentu klaim demikian tidak bisa objektif, tergantung sudut pandang masing-masing pihak. Memotret seseorang secara utuh tentu amat sulit karena masing-masing orang punya kelebihan dan kekurangan. Dan yang tak kalah penting, apakah ada jaminan orang yang mengkalim shaleh kalau jadi pejabat tetap sholeh.
- Apakah tidak ada jalan lain untuk sukses kecuali dengan pollitik uang, misalnya membangun kedekatan, keteladan, menjual ide dan gagasan dll.
- Apakah politik uang yang dilakukan itu lebih ringan bahayanya daripada tidak dilakukan. Politik uang itu dilarang karena merusak sistem sosial dan politik. Tidak semata-mata dilihat dari kepentinga pemberi suap dan penerima suap dalam jangka pendek, tapi juga kepentingan masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika politik uang dibolehkan, maka akan terjadilah transaksional, politik dagang sapi. Siapa yg membeli dengan harga paling tinggi dia yg menang, gilirannya pemilih tak lihat lagi shaleh atau fasik yg penting fulus. Sistem rusak. Kecurangan dibalas kecurangan.
- Kalau politik uang tidak dilkukan, apa benar akan ada madhorot yang lebih besar, atau itu hanya asumsi saja.
Bila orang di depan hakim untuk memulihkan hak harus bayar, kemudian siapa yang bayar dimenangkan hakim, maka terjadilah juak beli hukum. Si kaya menang si miskin kalah. Hukum akan rusak.
Suap tidak bisa dilihat hanya sekedar jual beli kedua belah pihak, tapi memiliki dimensi yg luas. Dimensi budaya, pendidikan dan moral kolektif, Untuk mencapai masyarakat adil makmur tak mungkin jual beli hukum dan hak pilih dihalalkan hanya untuk meraih kemenangan. Kemenangan dalam konsep Islam harus ditempuh dengan akhlak karimah agar berkah.
Beda dengan makruh, yaitu perkara yang ditinggalkan itu lebih baik dan jika ada hajat menjadi boleh. Hajat itu adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk menghilangkan kesempitan. Ada kaedah yang sangat membantu ketika memahami makruh sebagai berikut; الكَرَاهَةُ تَزُوْلُ بِالحَاجَةِ “Suatu yang makruh menjadi hilang karena ada hajat.”
Dalil dari kaedah tentang makruh di atas di antaranya adalah dalil berikut. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah Saw membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari, no. 568). Namun Rasulullah Saw. pernah begadang bersama Abu Bakar membicarakan urusan kaum muslimin. Hal ini dikatakan oleh Umar bin Al-Khattab, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Tirmidzi, no. 169. Ini menandakan suatu yang makruh dibolehkan ketika ada hajat.
Kita tahu bahwa politik uang itu dari sisi fikih haram dan dilarang oleh undang-undang, bukan hal makruh yang ketika ada hajat menjadi boleh. Harus hati-hati untuk menerapkan pendapat Gus Baha yang satu ini, jangan ditelan mentah dan menjadi alasan politik uang bukan suap, tapi membeli kebenaran. Karena merasa diri orang sholeh lalu menggampangkan politik uang. Walahu ‘alam bi shawab.
PERMASALAHAN PANGGILAN SIDANG IKRAR TALAK Oleh: H. A. ZAHRI, S.H
PERMASALAHAN
PANGGILAN SIDANG IKRAR TALAK
Oleh: H. A. ZAHRI, S.H
(Hakim Pengadilan Agama Situbondo)
Kasus Posisi
Di suatu Pengadilan Agama telah lama dipraktekkan sidang penyaksian ikrar talak tanpa panggilan pada hari itu, tapi dicukupkan panggilan hari sebelumnya. Kasus ini terjadi ketika pihak Pemohon tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan dalam panggilan, meskipun kepadanya telah dipanggil secara resmi dan patut. Sidang penyaksian ikrar talak dilaksanakan secara ‘spontanitas’, tanpa perencanaan dan penjadwalan terlebih dahulu, sudah barang tentu juga tanpa ada panggilan terlebih dahulu kepada para pihak pada hari pelaksanaan sidang itu.
Prosesnya sederhanaa: pemohon atau para pihak datang ke Pengadilan Agama dan melapor kepada petugas meja atau petugas Information Deks, dteruskan kepada majlis hakim yang menangani perkara tersebut, kemudian majlis hakim memeriksa keabsahan dan kepatutan relaas panggilan yang pernah disampaikan kepada para pihak dan berita acara sidang penyaksian ikrar talak yang tidak dihadiri pihak Pemohon pada sidang sebelumnya. Jika kedua hal tersebut memang telah ada sesuai ketentuan hukum, maka sidang penyaksian ikrar talak dilaksanakan.
Argumentasi model/cara seperti ini berdasarkan ketentuan pasal 70 ayat 06 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: “Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama”.
Panggilan sidang penyaksian ikrar pada pasal ini dipahami berlaku selama 6 (enam) bulan, jika selama tenggang waktu dimaksud belum berlalu para pihak khususnya pemohon sewaktu-waktu bisa datang ke pengadilan untuk mohon dibuka sidng ikrar talak. Pemahaman dimaksud sejalan dengan pola bindalmin berkaitan dengan administrasi perkara, dimana jika perkara telah diputus buku jurnal perkara ditutup dan hanya dianggarkan untuk pemberitahuan isi putusaan bila ada pihak yang tidak hadir ketika sidang pembacaan putusan dan satu kali panggilan untuk sidang penyaksian ikrar talak, baik untuk pemohon maupun termohon. Jadi tidak ada budget untuk memanggil para pihak lagi.
Pelaksanaan sidang ikrar talak secara “tiba-tiba” tersebut di atas oleh sebagian kalangan dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Mereka beralasan bahwa yang disebut sidang haruslah kedua belah pihak dipanggil terlebih dahulu, sebagaimana rumusan Pasal 26 ayat (1) Peraturaan Pemerintah Nomor 09 Tahun 1975, yang menggariskan: “Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut “. Mereka berhujjah bahwa setiap digelar persidangan di muka pengadilan para pihak harus dipanggil terlebih dahulu, sidang tanpa panggilan tidak memenuhi ketentuan yuridis karena menyalahi kehendak pasal 26 ayat (1) tersebut di atas. Alasan berikutnya bahwa menurut sistem peradilan modern semua aktivitas harus terencana dengan baik, lebih-lebih agenda sidang haruslah dibuat jadwal terlebih dahulu, tidak bisa sidang ”tiba-tiba”.
Analisa
Dari kasus posisi tersebut di atas, kiranya dapat diketahui bahwa sidang penyaksian ikrar talak yang pemohonnya tidak hadir memenuhi panggilan dan karenanya ia memiliki waktu 6 (enam) bulan untuk berikrar memiliki dua model. Model pertama, ikrar talak bisa dilakukan tanpa panggilan pada saat pemohon menghadap pengadilan. Model kedua, bila pemohon datang sebelum lewat waktu enam bulan tidak bisa ‘tiba-tiba’ mohon sidang ikrar talak, namun harus melapor kepada majlis yang menangani perkara tersebut untuk dibuat PHS baru kemudian dipanggil dan sidang penyaksian ikrar talak akan dilaksanakan sesuai dengan relaas panggilan dimaksud.
Penulis mencoba menganalisa kedua model tersebut dengan metode komparatif, yaitu menimbang kedua model tersebut dari sisi tehnis yustisial dan administrasi yustisial guna memperoleh model yang lebih saheh atau valid serta memenuhi azas sederhana, cepat dan biaya ringan. Masing-masing model tentu memiliki kelebihan dan kekuranganya, yang kelebihanya lebih besar dan kekuranganya lebih kecil itulah yang seharusnya dipilih dan diaplikasikan di pengadilan.
Model pertama, pemahaman bahwa relaas panggilan sidang penyaksian ikrar talak berlaku 6 (enam) bulan berlandaskan ketentuan pasal 70 ayat 06 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kiranya dapat dianalisa sebagai berikut:
- Bila dicermati rumusan kalimat,“Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya”. Bagaimana jika dalam tenggang waktu tersebut suami datang atau menyuruh wakilnya yang sah, masihkan perlu dipanggil sementara ia datang? Jika perlu dipanggil buat apa ada tenggang waktu 6 (enam) bulan itu?
- Dalam kasus ini kirannya metode interpretasia contrario atau mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya) dapat digunakan, sehingga rumusannya berbunyi, “Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak datang menghadap sendiri atau mengirim wakilnya yang sah, maka sidang penyaksian ikrar talak dapat dilaksanakan dan kekuatan penetapan tidak gugur”.
- Supaya putusan tidak gugur sewaktu-waktu pemohon datang dan mohon ikrar talak haruslah dipenuhi, tanpa terlebih dahulu memanggil para pihak sepanjang belum lewat waktu 6 (enam) bulan.
Dari sisi hukum Islam, pada kasus ini tidak ada ketentuan yang belum tercukupi. Talak adalah hak suami, sementara pengadilan telah menjatuhkan putusan memberi izin suami menggunakankan haknya, jika ia datang untuk menggunakan haknya tidak perlu dipersulit hanya karena belum ada secarik kertas relaas panggilan dalam berkas padahal orangnya sudah ada.
Secara administratif, jika dipanggil lagi perlu PHS baru, sementara gugurnya putusan dihitung dari tanggal PHS. Kalau kemudian ada dua PHS mana yang dipakai, jika yang dipakai PHS terakhir maka waktu 6 (enam) bulan bisa bertambah dan tidak berkesudahan. Bila PHS pertama, bagaimana misalnya bila tinggal 2 (dua) hari masa 6 (enam) bulan akan terlewati, mungkinkah memanggil dalam waktu 2 (dua) hari dan apakah panggilan itu patut. Atau bila panggilan kedua pemohon tidak datang lagi apa perlu panggilan ketiga dan seterusnya.
Secara yuiridis untuk memanggil para pihak perlu biaya dan pembayaran biaya perlu dimaksukkan pada sistem pembukuan. Menurut pola bindalmin ketika perkara diputus buku jurnal harus ditutup dan disisakan biaya panggilan ikrar untuk kedua belah pihak masing-masing satu kali jika kedua belah pihak hadir ketika sidang pembacaan putusan dan ditambah biaya pemberitahuan putusan untuk pihak yang tidak hadir. Ketika buku jurnal ditutup bila ada panjar lebih dikembalikan kepada pemohon dan bila kurang ia disuruh tambah. Lalu darimana biaya panggilan para pihak untuk kedua kali dan seterusnya? Solusinya, pemohon diperintah menambah panjar lagi, namun kemudian menjadi hal yang kurang elok, kemarin uang panjar dikembalikan karena ada sisa sekarang diperintah bayar lagi.
Ada pula langkah inovatif yang berbeda dengan pola bindalmin, yaitu untuk perkara cerai talak sisa panjar dikembalikan setelah pemohon menjatuhkan talak kepada termohon. Secara administratif plus-minus langkah ini masih perlu diuji lebih lanjut. Hanya saja bila pemohon pada panggilan kedua juga tidak datang, apakah perlu tambah panjar lagi untuk panggilan ketiga dan seterusnya. Manakala ini terjadi apakah tidak menyalahi ketentua azas berperkara sederhana, cepat dan biaya ringan.
Yang perlu dipikirkan jika pemohon tidak sanggup menambah panjar biaya atau waktu memanggil tidak cukup, karena waktu 6 (enam) bulan hampir terlampaui sehingga ikrar tidak terlaksana dan ternyata rumah tangga mereka tidak rukun lagi maka kedua belah pihak akan rugi, lebih-lebih pihak istri akan mu’alaq, tergantung tidak rukun dan tidak cerai.
Model kedua, bahwa ikrar talak tidak bisa dilaksanakan secara spontanitas, tanpa panggila terlebih dahulu. Hal ini, disamping berdasarkan ketentuan pasal 70 ayat 06 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga dihubungkan dengan pasal 26 ayat (1) Peraturaan Pemerintah Nomor 09 Tahun 1975, yang menggariskan: “Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut “. Setiap digelar persidangan di muka pengadilan para pihak harus dipanggil terlebih dahulu, sidang tanpa panggilan tidak memenuhi azas yuridis karena menyalahi kehendak pasal 26 ayat (1) tersebut di atas.
Alasan berikutnya, rasanya tidak adil jika suatu ketika pemohon menjatuhakn ikrar talak dan istri tidak tahu karena tidak ada panggilan untuknya, sementara pada panggilan sidang penyaksian ikrar talak sebelumnya ia hadir dan suami tidak hadir. Bila ada hal – hal yang ingin disampaikan kepada suaminya sewaktu ia dijatuhi talak atau pemohon/suami dihukum untuk membayar nafkah madhiyah, iddah mut’ah dan lain-lain dan ketika suaminya menjatuhkan talak ia tidak dipanggil maka ia merasa dirugikan.
Alasan model kedua menggunakan pasal 26 ayat (1) Peraturaan Pemerintah Nomor 09 Tahun 1975 patut dikritisi. Dari segi gramatikal pasal ini rumusannya tidak begitu baik, kalau tidak dikatakan kurang tepat. Pasal ini dapat dipahami bahwa ketika sidang pengadilan dilaksanakan para pihak akan dipanggil. Bagaimana panggilan akan dilakukan sementara perkara sudah di sidang. Seharusnya kata ” mereka akan dipanggil” diganti ”mereka telah dipanggil”.
Di sisi lain, yang dimaksud pasal ini adalah sidang pengadilan dengan agenda ” memeriksa gugatan”, sementara sidang ikrar talak bukan memeriksa gugatan karena perkara telah diputus, hanya pengucapan ikrar talak oleh suami dengan disaksikan majlis hakim. Tidak ada agenda memeriksa perkara pada sidang ikrar sehingga beberapa pakar antara lain: M. Yahya Harahap, SH, Dr. Abdul Manan, SH, Sip, MH memasukkan sidang ikrar talak dalam ranah eksekusi putusan. Tinjauan lain, bahwa lahirnya Peraturaan Pemerintah Nomor 09 Tahun 1975 jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sehingga setelah dihubungkan ada ketidakcocokan suatu hal yang wajar.
Soal ketidak hadiran pihak istri karena tidak dipanggil lagi tentu karena sudah pernah dipanggil dan ketidakhadiran istri tidak menghalangi dilaksanakan ikrar talak. Hal mana sesuai ketentuan pasal 70 ayat 05 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi, ” Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya”.
Ketidakhadiran istri dalam sidang penyaksian ikrar talak tidak akan merugikan hak-hak istri yang telah ditetapkan oleh pengadilan, seperti misalnya; nafkah madhiyah, iddah, mut’ah dan sebagainya, justru menguntungkan pihak istri karena hak-hak tersebut lahir akibat perceraian dan perceraian terjadi sejak ikrar talak diucapkan oleh suami. Justru sebaliknya, kerugian pihak istri akan didapat manakala pihak suami tidak melaksanakan ikrar sampai lewat waktu 6 (enam) bulan dan ternyata mereka tidak rukun lagi, istri akan tergantung dan tidak memperoleh hak-haknya yang telah diputus oleh pengadilan. Istri rugi dua kali, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.
Kesimpulan
Setelah membandingkan kedua model tersebut di atas kiranya menurut penulis model yang lebih sesuai dengan azas sederhana, cepat dan biaya ringan serta tidak menyalahi ketentuan hukum acara dan administrasi peradilan adalah model pertama, yaitu ikrar yang dilakukan spontanitas atau ujug-ujug tanpa PHS dan panggilan baru, cukup panggilan pertama. Dengan demikian model pertama ini sekaligus dapat dimaknai sebagai azas lex spesialis derogat lex generlis dari pasal 26 ayat (1) Peraturaan Pemerintah Nomor 09 Tahun 1975, karena memang banyak hal dalam hukum perkawinan yang menyimpangi dari prinsip-prinsip HIR dan Rbg serta peraturan lain yang datang sebelumnya. Misalnya, panggilan kepada termohon/tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak punya tempat tinggal yang tetap, cukup dipanggil sekali, sidang berikutnya ia tidak dipanggil lagi. Walhasil jika ada dua pilihan yang sama-sama sah, kenapa dipilih jalan sukar dan rumit tidak dipilih cara yang mudah dan sederhana. Walllahu a’lam bishawab.
Referensi Bacaan :
- H. Abdul Manan, SH, Sip M.Hum, PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA DILINGKUNGAN PERADILAN AGAMA, Yayasan Al- Hikmah Jakarta, 2001
- Ditbinpapera Islam, HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALLAM LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA, Tahun 2001 ;
- Yahya Harahap, SH, KEDUDUKAN, KEWENANGAN DAN ACARA PERADILAN AGAMA , Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
- Yahya Harahap, SH, RUANG LINGKUP PERMASALAHAN EKSEKUSI BIDANG PERDATA, , Sinar Grafika, Jakarta, 1987.
- Proyek Diklat Fungsional Hakim Dan Non Hakim - Mahkamah Agung RI, BUNGA RAMPAI MAKALAH HUKUM ACARA PERDATA, Jakarta, 2003.
Prosedur Pengaduan Fix
Prosedur Pengaduan Dugaan Pelanggaran Yang Dilakukan Hakim Dan Pegawai
Dasar hukum PERMA No. 9 Tahun 2016 tentang "PEDOMAN PENANGANAN PENGADUAN (WHISTLEBLOWING SYSTEM) DI MAHKAMAH AGUNG DAN BADAN PERADILAN YANG BERADA DIBAWAHNYA"
Cara Menyampaikan Pengaduan ke Pengadilan Agama Banyuwangi
- Secara Lisan
Masyarakat dapat datang langsung ke Meja Pengaduan di kantor Pengadilan Agama Banyuwangi dengan alamat Jl.Jaksa Agung Suprapto no.52 Banyuwangi - Melalui SIVERA " pengaduan#isi pengaduan " kirim ke 0852-3378-7997
- Kontak pengaduan Ditjen Badilag Mahkamah Agung RI 081212367307
- Secara Tertulis
- Melalui aplikasi Siwas : https://siwas.mahkamahagung.go.id/
- Melalui layanan Lapor : https://www.lapor.go.id/
Langkah-langkahnya sebagai berikut :
a. Menyampaikan surat resmi yang ditujukan kepada pimpinan, dalam hal ini Ketua Pengadilan Agama Banyuwangi dengan cara diantar langsung atau melalui pos ke alamat kantor diatas dan e-mail Pengadilan Agama Banyuwangi : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
b. Pengaduan secara tertulis wajib dilengkapi fotokopi identitas dan dokumen pendukung lainnya seperti dokumen lainnya yang berkaitan dengan pengaduan yang akan disampaikan.
c. Untuk Formulir Pengaduan bisa diminta kepada petugas pengaduan bila pengadu datang langsung Pengadilan
1. Pengadilan Agama Banyuwangi akan menerima setiap pengaduan yang diajukan oleh masyarakat baik secara lisan maupun tertulis.
2. Pengadilan Agama Banyuwangi akan memberikan penjelasan mengenai kebijakan dan prosedur penyelesaian pengaduan pada saat masyarakat mengajukan pengaduan.
3. Pengadilan Agama Banyuwangi akan memberikan tanda terima, jika pengaduan diajukan secara tertulis.
Mekanisme Pengaduan Dugaan Pelanggaran Yang Dilakukan Oleh Hakim dan Pegawai
A. Sumber Pengaduan
1. Dari Masyarakat
- Para pencari keadilan;
- Pengacara;
- Lembaga bantuan hukum;
- Lembaga swadaya masyarakat;
- Dewan perwakilan rakyat;
- Sekretariat kepresidenan dan wakil presiden;
- Kantor menteri pendayagunaan aparatur negara;
- Komisi pemberantasan korupsi;
- Komisi hokum nasional;
- Komisi ombudsman nasional;
- Komisi yudisial;
- Dan lain-lain.
2. Pengaduan dari internal lembaga pengadilan.
Pengaduan ini ditujukan terhadap aparat lembaga peradilan, yang diajukan oleh warga lembaga peradilan sendiri (termasuk keluarganya)
3. Laporan Kedinasan
Laporan kedinasan ini merupakan laporan resmi dari pimpinan lembaga peradilan mengenai aparat pengadilan yang dipimpinnya.
4. Informasi Dari :
- Instansi Lain;
- Media massa;
- Isu yang berkembang.
B. Pengaduan ditujukan pada lembaga peradilan;
C. Proses penanganan pengaduan
1. Pencatatan;
2. Penelaahan;
3. Penyaluran;
4. Pembentukan tim pemeriksa;
5. Survey pendahuluan;
6. Menyusun rencana pemeriksaan;
7. Pelaksanaan pemeriksaan.
Tahap Pemeriksaan Atas Pengaduan
Pelaksanaan pemeriksaan dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut :
a. Memeriksa pengadu, meliputi :
- Identitas pengadu;
- Relepansi kepentingan pengadu;
- Penjelasan lengkap tentang hal yang diadukannya;
- Bukti-bukti yang dimiliki pengadu.
b. Memeriksa pihak-pihak yang terkait.Pihak lain yang dapat diajukan oleh pengadu untuk menguatkan dalil-dalilnya, maupun atas inisiatif tim memeriksa untuk kepentingan melakukan klarifikasi maupun konfirmasi mengenai pengaduan tersebut.
c. Memeriksa pihak yang diadukan, meliputi :
- Identitas;
- Riwayat hidup dan riwayat pekerjaan secara singkat;
- Klarifikasi atas hal yang dilaporkan.
d. Memeriksa pihak lain yang diajukan oleh pihak yang diadukan, yaitu pihak yang dapat menguatkan dalil-dalilnya.
e. Memeriksa surat-surat dan dokumen dengan teliti dan seksama, dibuat foto kopinya dan dilegalisir.
f. Mengkonfrontir antara pengadu dengan pihak yang diadukan, atau pihak lainnya (apabila diperlukan).
g. Melakukan pemeriksaan lapangan (bila diperlukan).
Pengadilan Tingkat Pertama diberikan kewenangan sebatas menerima pengaduan dan berkewajiban untuk meneruskan pengaduan tersebut kepada Pengadilan Tingkat Banding atau Mahkamah Agung dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak pengaduan diterima.
Penanganan pengaduan saat ini mengakomodir pula hak-hak dari para pelapor seperti hak mendapatkan perlindungan kerahasiaan identitas, mendapatkan kesempatan untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa paksaan dari pihak manapun, mendapatkan informasi mengenai tahapan, penanganan pengaduan yang disampaikannya serta pelapor berhak mendapatkan perlakuan yang sama dan setara dengan Terlapor dalam pemeriksaan.
Dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap sistem pengaduan masyarakat, Mahkamah Agung menerbitkan brosur tentang informasi layanan pengaduan masyarakat dan prosedur penyampaian laporan pengaduan yang disebarluaskan melalui Pengadilan Tingkat Pertama maupun Pengadilan Tingkat Banding.
Lampiran SK Standart Layanan Pengaduan
Mediator - Sang Penengah


