Fidila Vania Aziz, S.Kom.
PERMASALAHAN PANGGILAN SIDANG IKRAR TALAK Oleh: H. A. ZAHRI, S.H
PERMASALAHAN
PANGGILAN SIDANG IKRAR TALAK
Oleh: H. A. ZAHRI, S.H
(Hakim Pengadilan Agama Situbondo)
Kasus Posisi
Di suatu Pengadilan Agama telah lama dipraktekkan sidang penyaksian ikrar talak tanpa panggilan pada hari itu, tapi dicukupkan panggilan hari sebelumnya. Kasus ini terjadi ketika pihak Pemohon tidak hadir pada hari sidang yang telah ditentukan dalam panggilan, meskipun kepadanya telah dipanggil secara resmi dan patut. Sidang penyaksian ikrar talak dilaksanakan secara ‘spontanitas’, tanpa perencanaan dan penjadwalan terlebih dahulu, sudah barang tentu juga tanpa ada panggilan terlebih dahulu kepada para pihak pada hari pelaksanaan sidang itu.
Prosesnya sederhanaa: pemohon atau para pihak datang ke Pengadilan Agama dan melapor kepada petugas meja atau petugas Information Deks, dteruskan kepada majlis hakim yang menangani perkara tersebut, kemudian majlis hakim memeriksa keabsahan dan kepatutan relaas panggilan yang pernah disampaikan kepada para pihak dan berita acara sidang penyaksian ikrar talak yang tidak dihadiri pihak Pemohon pada sidang sebelumnya. Jika kedua hal tersebut memang telah ada sesuai ketentuan hukum, maka sidang penyaksian ikrar talak dilaksanakan.
Argumentasi model/cara seperti ini berdasarkan ketentuan pasal 70 ayat 06 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi: “Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama”.
Panggilan sidang penyaksian ikrar pada pasal ini dipahami berlaku selama 6 (enam) bulan, jika selama tenggang waktu dimaksud belum berlalu para pihak khususnya pemohon sewaktu-waktu bisa datang ke pengadilan untuk mohon dibuka sidng ikrar talak. Pemahaman dimaksud sejalan dengan pola bindalmin berkaitan dengan administrasi perkara, dimana jika perkara telah diputus buku jurnal perkara ditutup dan hanya dianggarkan untuk pemberitahuan isi putusaan bila ada pihak yang tidak hadir ketika sidang pembacaan putusan dan satu kali panggilan untuk sidang penyaksian ikrar talak, baik untuk pemohon maupun termohon. Jadi tidak ada budget untuk memanggil para pihak lagi.
Pelaksanaan sidang ikrar talak secara “tiba-tiba” tersebut di atas oleh sebagian kalangan dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Mereka beralasan bahwa yang disebut sidang haruslah kedua belah pihak dipanggil terlebih dahulu, sebagaimana rumusan Pasal 26 ayat (1) Peraturaan Pemerintah Nomor 09 Tahun 1975, yang menggariskan: “Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut “. Mereka berhujjah bahwa setiap digelar persidangan di muka pengadilan para pihak harus dipanggil terlebih dahulu, sidang tanpa panggilan tidak memenuhi ketentuan yuridis karena menyalahi kehendak pasal 26 ayat (1) tersebut di atas. Alasan berikutnya bahwa menurut sistem peradilan modern semua aktivitas harus terencana dengan baik, lebih-lebih agenda sidang haruslah dibuat jadwal terlebih dahulu, tidak bisa sidang ”tiba-tiba”.
Analisa
Dari kasus posisi tersebut di atas, kiranya dapat diketahui bahwa sidang penyaksian ikrar talak yang pemohonnya tidak hadir memenuhi panggilan dan karenanya ia memiliki waktu 6 (enam) bulan untuk berikrar memiliki dua model. Model pertama, ikrar talak bisa dilakukan tanpa panggilan pada saat pemohon menghadap pengadilan. Model kedua, bila pemohon datang sebelum lewat waktu enam bulan tidak bisa ‘tiba-tiba’ mohon sidang ikrar talak, namun harus melapor kepada majlis yang menangani perkara tersebut untuk dibuat PHS baru kemudian dipanggil dan sidang penyaksian ikrar talak akan dilaksanakan sesuai dengan relaas panggilan dimaksud.
Penulis mencoba menganalisa kedua model tersebut dengan metode komparatif, yaitu menimbang kedua model tersebut dari sisi tehnis yustisial dan administrasi yustisial guna memperoleh model yang lebih saheh atau valid serta memenuhi azas sederhana, cepat dan biaya ringan. Masing-masing model tentu memiliki kelebihan dan kekuranganya, yang kelebihanya lebih besar dan kekuranganya lebih kecil itulah yang seharusnya dipilih dan diaplikasikan di pengadilan.
Model pertama, pemahaman bahwa relaas panggilan sidang penyaksian ikrar talak berlaku 6 (enam) bulan berlandaskan ketentuan pasal 70 ayat 06 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kiranya dapat dianalisa sebagai berikut:
- Bila dicermati rumusan kalimat,“Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya”. Bagaimana jika dalam tenggang waktu tersebut suami datang atau menyuruh wakilnya yang sah, masihkan perlu dipanggil sementara ia datang? Jika perlu dipanggil buat apa ada tenggang waktu 6 (enam) bulan itu?
- Dalam kasus ini kirannya metode interpretasia contrario atau mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya) dapat digunakan, sehingga rumusannya berbunyi, “Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak datang menghadap sendiri atau mengirim wakilnya yang sah, maka sidang penyaksian ikrar talak dapat dilaksanakan dan kekuatan penetapan tidak gugur”.
- Supaya putusan tidak gugur sewaktu-waktu pemohon datang dan mohon ikrar talak haruslah dipenuhi, tanpa terlebih dahulu memanggil para pihak sepanjang belum lewat waktu 6 (enam) bulan.
Dari sisi hukum Islam, pada kasus ini tidak ada ketentuan yang belum tercukupi. Talak adalah hak suami, sementara pengadilan telah menjatuhkan putusan memberi izin suami menggunakankan haknya, jika ia datang untuk menggunakan haknya tidak perlu dipersulit hanya karena belum ada secarik kertas relaas panggilan dalam berkas padahal orangnya sudah ada.
Secara administratif, jika dipanggil lagi perlu PHS baru, sementara gugurnya putusan dihitung dari tanggal PHS. Kalau kemudian ada dua PHS mana yang dipakai, jika yang dipakai PHS terakhir maka waktu 6 (enam) bulan bisa bertambah dan tidak berkesudahan. Bila PHS pertama, bagaimana misalnya bila tinggal 2 (dua) hari masa 6 (enam) bulan akan terlewati, mungkinkah memanggil dalam waktu 2 (dua) hari dan apakah panggilan itu patut. Atau bila panggilan kedua pemohon tidak datang lagi apa perlu panggilan ketiga dan seterusnya.
Secara yuiridis untuk memanggil para pihak perlu biaya dan pembayaran biaya perlu dimaksukkan pada sistem pembukuan. Menurut pola bindalmin ketika perkara diputus buku jurnal harus ditutup dan disisakan biaya panggilan ikrar untuk kedua belah pihak masing-masing satu kali jika kedua belah pihak hadir ketika sidang pembacaan putusan dan ditambah biaya pemberitahuan putusan untuk pihak yang tidak hadir. Ketika buku jurnal ditutup bila ada panjar lebih dikembalikan kepada pemohon dan bila kurang ia disuruh tambah. Lalu darimana biaya panggilan para pihak untuk kedua kali dan seterusnya? Solusinya, pemohon diperintah menambah panjar lagi, namun kemudian menjadi hal yang kurang elok, kemarin uang panjar dikembalikan karena ada sisa sekarang diperintah bayar lagi.
Ada pula langkah inovatif yang berbeda dengan pola bindalmin, yaitu untuk perkara cerai talak sisa panjar dikembalikan setelah pemohon menjatuhkan talak kepada termohon. Secara administratif plus-minus langkah ini masih perlu diuji lebih lanjut. Hanya saja bila pemohon pada panggilan kedua juga tidak datang, apakah perlu tambah panjar lagi untuk panggilan ketiga dan seterusnya. Manakala ini terjadi apakah tidak menyalahi ketentua azas berperkara sederhana, cepat dan biaya ringan.
Yang perlu dipikirkan jika pemohon tidak sanggup menambah panjar biaya atau waktu memanggil tidak cukup, karena waktu 6 (enam) bulan hampir terlampaui sehingga ikrar tidak terlaksana dan ternyata rumah tangga mereka tidak rukun lagi maka kedua belah pihak akan rugi, lebih-lebih pihak istri akan mu’alaq, tergantung tidak rukun dan tidak cerai.
Model kedua, bahwa ikrar talak tidak bisa dilaksanakan secara spontanitas, tanpa panggila terlebih dahulu. Hal ini, disamping berdasarkan ketentuan pasal 70 ayat 06 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga dihubungkan dengan pasal 26 ayat (1) Peraturaan Pemerintah Nomor 09 Tahun 1975, yang menggariskan: “Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut “. Setiap digelar persidangan di muka pengadilan para pihak harus dipanggil terlebih dahulu, sidang tanpa panggilan tidak memenuhi azas yuridis karena menyalahi kehendak pasal 26 ayat (1) tersebut di atas.
Alasan berikutnya, rasanya tidak adil jika suatu ketika pemohon menjatuhakn ikrar talak dan istri tidak tahu karena tidak ada panggilan untuknya, sementara pada panggilan sidang penyaksian ikrar talak sebelumnya ia hadir dan suami tidak hadir. Bila ada hal – hal yang ingin disampaikan kepada suaminya sewaktu ia dijatuhi talak atau pemohon/suami dihukum untuk membayar nafkah madhiyah, iddah mut’ah dan lain-lain dan ketika suaminya menjatuhkan talak ia tidak dipanggil maka ia merasa dirugikan.
Alasan model kedua menggunakan pasal 26 ayat (1) Peraturaan Pemerintah Nomor 09 Tahun 1975 patut dikritisi. Dari segi gramatikal pasal ini rumusannya tidak begitu baik, kalau tidak dikatakan kurang tepat. Pasal ini dapat dipahami bahwa ketika sidang pengadilan dilaksanakan para pihak akan dipanggil. Bagaimana panggilan akan dilakukan sementara perkara sudah di sidang. Seharusnya kata ” mereka akan dipanggil” diganti ”mereka telah dipanggil”.
Di sisi lain, yang dimaksud pasal ini adalah sidang pengadilan dengan agenda ” memeriksa gugatan”, sementara sidang ikrar talak bukan memeriksa gugatan karena perkara telah diputus, hanya pengucapan ikrar talak oleh suami dengan disaksikan majlis hakim. Tidak ada agenda memeriksa perkara pada sidang ikrar sehingga beberapa pakar antara lain: M. Yahya Harahap, SH, Dr. Abdul Manan, SH, Sip, MH memasukkan sidang ikrar talak dalam ranah eksekusi putusan. Tinjauan lain, bahwa lahirnya Peraturaan Pemerintah Nomor 09 Tahun 1975 jauh sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sehingga setelah dihubungkan ada ketidakcocokan suatu hal yang wajar.
Soal ketidak hadiran pihak istri karena tidak dipanggil lagi tentu karena sudah pernah dipanggil dan ketidakhadiran istri tidak menghalangi dilaksanakan ikrar talak. Hal mana sesuai ketentuan pasal 70 ayat 05 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang berbunyi, ” Jika istri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya”.
Ketidakhadiran istri dalam sidang penyaksian ikrar talak tidak akan merugikan hak-hak istri yang telah ditetapkan oleh pengadilan, seperti misalnya; nafkah madhiyah, iddah, mut’ah dan sebagainya, justru menguntungkan pihak istri karena hak-hak tersebut lahir akibat perceraian dan perceraian terjadi sejak ikrar talak diucapkan oleh suami. Justru sebaliknya, kerugian pihak istri akan didapat manakala pihak suami tidak melaksanakan ikrar sampai lewat waktu 6 (enam) bulan dan ternyata mereka tidak rukun lagi, istri akan tergantung dan tidak memperoleh hak-haknya yang telah diputus oleh pengadilan. Istri rugi dua kali, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.
Kesimpulan
Setelah membandingkan kedua model tersebut di atas kiranya menurut penulis model yang lebih sesuai dengan azas sederhana, cepat dan biaya ringan serta tidak menyalahi ketentuan hukum acara dan administrasi peradilan adalah model pertama, yaitu ikrar yang dilakukan spontanitas atau ujug-ujug tanpa PHS dan panggilan baru, cukup panggilan pertama. Dengan demikian model pertama ini sekaligus dapat dimaknai sebagai azas lex spesialis derogat lex generlis dari pasal 26 ayat (1) Peraturaan Pemerintah Nomor 09 Tahun 1975, karena memang banyak hal dalam hukum perkawinan yang menyimpangi dari prinsip-prinsip HIR dan Rbg serta peraturan lain yang datang sebelumnya. Misalnya, panggilan kepada termohon/tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya atau tidak punya tempat tinggal yang tetap, cukup dipanggil sekali, sidang berikutnya ia tidak dipanggil lagi. Walhasil jika ada dua pilihan yang sama-sama sah, kenapa dipilih jalan sukar dan rumit tidak dipilih cara yang mudah dan sederhana. Walllahu a’lam bishawab.
Referensi Bacaan :
- H. Abdul Manan, SH, Sip M.Hum, PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA DILINGKUNGAN PERADILAN AGAMA, Yayasan Al- Hikmah Jakarta, 2001
- Ditbinpapera Islam, HIMPUNAN PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN DALLAM LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA, Tahun 2001 ;
- Yahya Harahap, SH, KEDUDUKAN, KEWENANGAN DAN ACARA PERADILAN AGAMA , Sinar Grafika, Jakarta, 2007.
- Yahya Harahap, SH, RUANG LINGKUP PERMASALAHAN EKSEKUSI BIDANG PERDATA, , Sinar Grafika, Jakarta, 1987.
- Proyek Diklat Fungsional Hakim Dan Non Hakim - Mahkamah Agung RI, BUNGA RAMPAI MAKALAH HUKUM ACARA PERDATA, Jakarta, 2003.
Prosedur Pengaduan Fix
Prosedur Pengaduan Dugaan Pelanggaran Yang Dilakukan Hakim Dan Pegawai
Dasar hukum PERMA No. 9 Tahun 2016 tentang "PEDOMAN PENANGANAN PENGADUAN (WHISTLEBLOWING SYSTEM) DI MAHKAMAH AGUNG DAN BADAN PERADILAN YANG BERADA DIBAWAHNYA"
Cara Menyampaikan Pengaduan ke Pengadilan Agama Banyuwangi
- Secara Lisan
Masyarakat dapat datang langsung ke Meja Pengaduan di kantor Pengadilan Agama Banyuwangi dengan alamat Jl.Jaksa Agung Suprapto no.52 Banyuwangi - Melalui SIVERA " pengaduan#isi pengaduan " kirim ke 0852-3378-7997
- Kontak pengaduan Ditjen Badilag Mahkamah Agung RI 081212367307
- Secara Tertulis
- Melalui aplikasi Siwas : https://siwas.mahkamahagung.go.id/
- Melalui layanan Lapor : https://www.lapor.go.id/
Langkah-langkahnya sebagai berikut :
a. Menyampaikan surat resmi yang ditujukan kepada pimpinan, dalam hal ini Ketua Pengadilan Agama Banyuwangi dengan cara diantar langsung atau melalui pos ke alamat kantor diatas dan e-mail Pengadilan Agama Banyuwangi : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.
b. Pengaduan secara tertulis wajib dilengkapi fotokopi identitas dan dokumen pendukung lainnya seperti dokumen lainnya yang berkaitan dengan pengaduan yang akan disampaikan.
c. Untuk Formulir Pengaduan bisa diminta kepada petugas pengaduan bila pengadu datang langsung Pengadilan
1. Pengadilan Agama Banyuwangi akan menerima setiap pengaduan yang diajukan oleh masyarakat baik secara lisan maupun tertulis.
2. Pengadilan Agama Banyuwangi akan memberikan penjelasan mengenai kebijakan dan prosedur penyelesaian pengaduan pada saat masyarakat mengajukan pengaduan.
3. Pengadilan Agama Banyuwangi akan memberikan tanda terima, jika pengaduan diajukan secara tertulis.
Mekanisme Pengaduan Dugaan Pelanggaran Yang Dilakukan Oleh Hakim dan Pegawai
A. Sumber Pengaduan
1. Dari Masyarakat
- Para pencari keadilan;
- Pengacara;
- Lembaga bantuan hukum;
- Lembaga swadaya masyarakat;
- Dewan perwakilan rakyat;
- Sekretariat kepresidenan dan wakil presiden;
- Kantor menteri pendayagunaan aparatur negara;
- Komisi pemberantasan korupsi;
- Komisi hokum nasional;
- Komisi ombudsman nasional;
- Komisi yudisial;
- Dan lain-lain.
2. Pengaduan dari internal lembaga pengadilan.
Pengaduan ini ditujukan terhadap aparat lembaga peradilan, yang diajukan oleh warga lembaga peradilan sendiri (termasuk keluarganya)
3. Laporan Kedinasan
Laporan kedinasan ini merupakan laporan resmi dari pimpinan lembaga peradilan mengenai aparat pengadilan yang dipimpinnya.
4. Informasi Dari :
- Instansi Lain;
- Media massa;
- Isu yang berkembang.
B. Pengaduan ditujukan pada lembaga peradilan;
C. Proses penanganan pengaduan
1. Pencatatan;
2. Penelaahan;
3. Penyaluran;
4. Pembentukan tim pemeriksa;
5. Survey pendahuluan;
6. Menyusun rencana pemeriksaan;
7. Pelaksanaan pemeriksaan.
Tahap Pemeriksaan Atas Pengaduan
Pelaksanaan pemeriksaan dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut :
a. Memeriksa pengadu, meliputi :
- Identitas pengadu;
- Relepansi kepentingan pengadu;
- Penjelasan lengkap tentang hal yang diadukannya;
- Bukti-bukti yang dimiliki pengadu.
b. Memeriksa pihak-pihak yang terkait.Pihak lain yang dapat diajukan oleh pengadu untuk menguatkan dalil-dalilnya, maupun atas inisiatif tim memeriksa untuk kepentingan melakukan klarifikasi maupun konfirmasi mengenai pengaduan tersebut.
c. Memeriksa pihak yang diadukan, meliputi :
- Identitas;
- Riwayat hidup dan riwayat pekerjaan secara singkat;
- Klarifikasi atas hal yang dilaporkan.
d. Memeriksa pihak lain yang diajukan oleh pihak yang diadukan, yaitu pihak yang dapat menguatkan dalil-dalilnya.
e. Memeriksa surat-surat dan dokumen dengan teliti dan seksama, dibuat foto kopinya dan dilegalisir.
f. Mengkonfrontir antara pengadu dengan pihak yang diadukan, atau pihak lainnya (apabila diperlukan).
g. Melakukan pemeriksaan lapangan (bila diperlukan).
Pengadilan Tingkat Pertama diberikan kewenangan sebatas menerima pengaduan dan berkewajiban untuk meneruskan pengaduan tersebut kepada Pengadilan Tingkat Banding atau Mahkamah Agung dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak pengaduan diterima.
Penanganan pengaduan saat ini mengakomodir pula hak-hak dari para pelapor seperti hak mendapatkan perlindungan kerahasiaan identitas, mendapatkan kesempatan untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa paksaan dari pihak manapun, mendapatkan informasi mengenai tahapan, penanganan pengaduan yang disampaikannya serta pelapor berhak mendapatkan perlakuan yang sama dan setara dengan Terlapor dalam pemeriksaan.
Dalam rangka meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap sistem pengaduan masyarakat, Mahkamah Agung menerbitkan brosur tentang informasi layanan pengaduan masyarakat dan prosedur penyampaian laporan pengaduan yang disebarluaskan melalui Pengadilan Tingkat Pertama maupun Pengadilan Tingkat Banding.
Lampiran SK Standart Layanan Pengaduan